Jurnal Teologi Diegesis, edisi ketiga kali ini menghadirkan tema yang beragam, mulai dari kepe-mimpinan, pendidikan, teologi agama-agama, dan pelayanan praktis gereja lokal melalui komsel dan gerakan Islam transnasional. Tema-tema yang beragam ini memberi ruang bagi pem-baca dari berbagai bidang minat atau keahlian. Karena STT Bethel Indo-nesia ada di dalam tradisi gereja pen-takostal, maka isu komsel (komunitas sel) yang banyak dipraktekkan di gereja-gereja aliran pentakostal dapat menjadi refrensi untuk memajukan komsel.
Amos Hosea menulis dengan sebuah rujukan model komsel di Gereja Yoido, Korea Selatan yang terkenal sukses tersebut. Masih dalam kaitannya dengan gereja, Johannes Rajagukguk membahas mengenai kre-dibilitas pribadi Gembala dalam per-tumbuhan gereja. Daniel Ronda me-nyoroti tentang pemulihan kepe-mimpinan gereja yang mengambil refleksi atas teks Yesaya 42:1-9. Untuk pemulihan tersebut gereja perlu kem-bali kepada nilai-nilai kesadaran akan panggilannya, integritasnya, kompe-tensinya, rasa percaya dirinya dan perlunya berjejaring.
Dalam isu pendidikan Junihot Simanjuntak menempatkan peran Pri-badi Roh Kudus di dalam seluruh proses pendidkan. Selama ini dunia pendidikan agama Kristen hanya sering menyoroti tentang Yesus se-bagai guru agung yang misalnya mengambil rujukan model pengajaran-Nya. Namun kali ini Roh Kudus sebagai subject matter dalam pen-didikan mengingat Roh Kudus adalah pribadi yang meneruskan pekerjaan Kristus di dunia, dimana Ia mengajar dan sejalan dengan Ia di sebut Roh hikmat dan wahyu.Untuk itu, dalam proses belajar mengajar Roh Kudus mutlak perlu disadari dan diakui ke-pentingan-Nya.
Dalam kaitannya studi dogma dan agama-agama, dua penulis ber-ikutnya mengangkat isu ini. Samuel Andri menulis mengenai refleksi Tri-nitarian pada keutamaan Allah Bapa. Dalam tulisannya ini, ia menggugat istilah yang sekarang sedang tren yaitu perikoresis. Bagi Andri ada keter-batasan-keterbatasan perikoresis di dalam refleksi Trinitarian sosial, salah satunya cara memulai percakapan ten-tang isu ini. Tradisi Barat, menurut Andri, sudah memulai pokok dis-kursusnya tentang ke-satu-an Allah baru mempercakapkan masing-masing pribadi.
Pemahaman ini menyulitkan untuk tradisi Timur, harusnya sebalik-nya, dimana harus dimulai dari tiga pribadi Allah baru kemudian mencoba berbicara tentang Allah adalah satu. Alasan lain ini memiliki keterbatasan adalah problem proyeksinya yang tak menampilkan afirmasi monoteistik dari tradisi Kristen. Dan beberapa masalah lainnya.
Kemudian, sebagai saran yang memperbaiki cara ini, penulis me-nyarankan refleksi Trinitarian secara sosial itu dengan mempertimbangkan tiga hal yaitu: keutamaan Bapa, bukan di dalam hirarki dan tidak kontradiksi dengan kualitas ontologis dari ketiga pribadi namun lebih kepada penekanan cara menjelaskan bagaimana tiga pribadi itu satu Allah, karena secara kekekalan, Bapa secara penuh dan sempurna ‘menyampaikan’ di dalam kesatuan yang sempurna akan ke-hendak dan natur.
Terakhir, penulis Eko Kurnia-wan Wibowo menyoroti tentang Gerakan Islam Transnasional yang lebih kepada maraknya gerakan Islam mondial yang berhasrat kuat mem-berlakukan syariat Islam bahkan mendirikan Negara Islam di berbagai Negara, khususnya di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Dalam konteks di Indonesia, ini begitu masif dan menguat lewat HTI, Jemaah Islamiah, dan Ikwanul Muslimin.
Mereka mengusung konsep khilafah. Adapun faktor-faktor yang diutarakan penulis adalah terjadinya pergeseran geo-politik paska era kolonialisasi, konstelasi politik di Timur Tengah dan kapitalisme global.

Published: 2019-02-28